Sabtu, 30 Juli 2011

Kamis, 28 Juli 2011

Aku dan sahabatku mengucapkan Selamat Berpuasa


Marhaban Ahlan wa Sahlan Ya Ramadhan 1432 H. Gema Ramadhan telah membahana, tanda kebesaran nyata Sang Khaliq dan patut mendapat bakti. Mari refleksikan diri dgn beribadah penuh iman, taqwa dan ikhlas. Atas segala khilaf dan alpa, mohon dibuka pintu maaf, agar khusyu’ dan tawadlu’ dlm mengharap RidhoNYA. Amin. MARHABAN YA RAMADHAN.

Marhaban Yaa Ramadhan

Ramadhan adalah pembuktian cinta, pada setiap ruang dan waktu yang berpuluh-puluh berlipat ganda, Ketundukan adalah cinta, Kebajikan adalah cinta, Derma adalah cinta, dan menata hidup lebih dewasa adalah cinta. Ramadhan, saat memberi makna istimewa pada cinta kita. KIta telah bersama dalam ukhuwah semoga kelak kita dipertemukan oleh-Nya dalam ukhuwah pula, amin. Maaf untuk semua kesalahan.

Senin, 18 Juli 2011

Penyapu Ranjau



Karya : Fakhriyansyah


Bila penyapu itu dipakai

Terus-terusan

Ijuk terburai dengan hampa

Bertabur entah suka-sukanya

Berkelabut menyimpai makna

Hingga tebuang dengan sengaja

Penyapu itu menjadi ranjau

Penyapu ranjau kononnya

Sok berani menyapu kemustahilan

Hidup penuh dugaan

Berani menumpas kezaliman

Makhluk tak berkompeten

Bukan penyapu sembarang penyapu

Penyapu ranjau terkena silau

Harta dan promosi jabatan

Penyapu menampi hal-hal tabu

Bak penyapu bersisi dua

Sini sapu yang situ

Sana sapu pula yang sini

Menipu sana

Menipu sini

Dasar penyapu

Penyapu ranjau terkena sial

Memang sial

Kalau penyapu dah sial

Ape nak jadi???

Kemane promosi jabatan itu

Kemane harte melimpah itu

Bile semue terjangkit virus “SIAL”

Puasisih.....

Negeri Pantun, 15 Juli 2011

My room, 20.44 wib

Matahari Kini Telah Terbenam Didasar Lautan (Dedicated For Alm. TUSIRAN SUSENO 1957-2011)



Tergetar hati ini

Saat malam menumpah

Bertebaran segenap gemercik bintang

Rasanya terang

Bulan pun seperti riang-riang gembira

Tak ada tanda-tanda

Untuk melepasnya untuk pergi


Sepuluh lebih sepuluh

Ku buka lentera nokia ku disamping telinga kiri

Ternyata ada sebuah pesan singkat

Yang mengabarkan bahwa

“Kau telah tiada”

Aku terdiam sejenak

Bertanya-tanya dalam hati

Bingung tak karuan


Seingatku...

Terakhir ku jumpa

Ku melihat dirimu masih bersiar-siar

Memakai motor barumu

Di tepi laut bersama buah hatimu

Mungkin itulah yang terakhir kali ku melihatmu


Malam menjadi kelam

Membuncah rasa sedih

Duka dan pilu

Saat sosok sastrawan dan budayawan itu

Pergi melayang

Meninggalkan kita

Untuk selamanya

Membekaskan segenap keindahan makna kata

Yang tersirat dalam karyamu yang spektakuler


Matahari kini telah terbenam didasar lautan

Mutiara pun telah karam

Sepuluh ribu pantun memberikan selaksa kenangan

Sebagai tanda kasih sayang darimu

Bangsawan....


Namun...

Ku yakin akan terbit lagi matahari

Yang berasal dari bawah laut

Sebagai penggantimu

Akan timbul mutiara indah

Yang karam dilautan

Untuk memberikan sinar yang baru

Untuk negeri kata-kata

Lekaslah lahir sejuta, semiliyar dan setrilyun pantun

Sebagai senjata utama tuturan

Di negeri Pantun ini


Tok Tusiran...

Selamat Jalan

Innalilahiwainailaihirajiun

Tenanglah...

Sampailah...

DipangkuanNya dengan lancar

Kami disini kau tinggalkan

Dengan penuh keyakinan dan doa

Untuk perjalananmu yang abadi

Selamat Jalan....


Negeri Pantun, 13 Juli 2011

My room, 22.56 wib

Minggu, 17 Juli 2011

Untuk Calon Istriku


Bila ditanya tentang NIKAH

Rasanya tak bisa menjawab

Tapi suatu saat nanti pasti akan dijalani

Bukan mudah menyatukan dua hati

Untuk waktu lama hingga akhir zaman

Sebab menikah merupakan proses membuka tabir

Yang dirahasiakan

Aku sang calon suami

Sosok lelaki yang akan menikahi kamu

Wahai kekasih

Memanglah bukan sosok mulia

Seperti Muhammad

Tidak pula begitu gagah

Seperti Musa

Apalagi setampan Yusuf

Justru aku,

Suamimu hanyalah pria

Yang akan menemanimu hingga akhir zaman

Hanya memiliki segudang romantisme

Segudang cita-cita

Dan sejuta harapan untuk meneruskan

Zuriat-zuriat soleh dan soleha

Kelak...

Menikah memang suatu pelajaran baru untuk kita

Yang memang wajib kita pelajari

Aku sebagai suami, kelak

Tak ubahnya sebuah naungan

Dan kamu sebagai orang yang dinaunginya

Ibaratkan sebuah rumah

Kamu penghuninya

Layaknya nakhoda, kamulah penumpangnya

Bagaikan raja, kamu permaisurinya

Ibaratkan aku ular berbisa, kamu menjadi penawarnya

Umpama aku pengemudi yang mengantuk

Hingga aku hampir lepas kendali

Kamu mampu menjadi pengendali yang ulung

Wahai istriku...

Bila nikah nanti

Kita harus mengenali pentingnya iman dan taqwa

Seperti pesantren kecil yang mengajarkan kita tentang

Arti kesabaran, keikhlasan dan ketegaran

Dalam menempuh jalan yang kita lalui bersama

Antara aku dan istriku

Untuk calon istriku

Aku ingin kamu jagalah mahkota yang berharga

Yang kamu miliki

Hiiasi dia dengan sejumput berlian, intan dan permata

Jagalah ia sampai aku bisa menyentuhnya dan melihatnya

Karena ku yakin

Kamulah satu-satunya wanita terindah yang kumiliki

Setelah ibu yang melahirkanku

Kamulah wanita akhir zaman

Yang akan menemaniku hingga detik zaman berakhir...

Negeri Pantun, 12 Juli 2011

My room, 19.35 wib


PANTUN = soPAN sanTUN


Oleh : Fakhriyansyah

Penggiat Sastra Kota Tanjungpinang



Tanam padi sudah biasa

Tolong pinggirkan jangan dibantun

Indah budi karena bahasa

Elok tuturan bersopan santun

Kebiasaan berpantun merupakan suatu hal yang lazim dilakukan oleh masyarakat Melayu. Terutama Kota Tanjungpinang, maka pantaslah negeri ini disematkan sebagai Negeri Pantun. Tilik punya tilik, memanglah benar adanya kebiasaan berpantun itu dilakukan oleh masyarakatnya untuk berucap, bertutur dan bahkan menyindir orang dengan menggunakan pantun, kalaupun bisa menyatakan cinta, menolak cinta atau marah pun akan dilakukan dengan berpantun bahkan bila emosi memuncak, orang Melayu memiliki trik tersendiri untuk meluapkannya, yakni PANTUN.

Pantun adalah salah satu bentuk puisi lama Melayu. UU Hamidy mengungkapkan bahwa pantun dapat diartikan sebagai bahasa terikat yang dapat memberi arah, petunjuk, tuntutan dan bimbingan. Pantun adalah puisi lama yang terdiri atas 4 baris dalam satu bait. Baris pertama dan kedua disebut sampiran atau pembayang, baris ketiga dan keempat merupakan isi atau jawab. Setiap baris terdiri dari 4-5 kata atau 8-12 suku kata. Pantun memiliki sajak a-b-a-b. Mungkin ini sudah kita kenali sejak berada dibangku sekolah dasar dan bahkan diulang kembali sampai ke perguruan tinggi. Namun, ciri-ciri pantun itu sering sekali kita lupakan dan seolah hanya sekedar ingatan sesaat. Ada yang menyamakan antara pantun dan karmina. Itu memang suatu perbedaan yang sangat jelas tampak, bagi kita yang terbiasa dengan pantun 4 kerat. Karmina atau pantun kilat atau pantun betawi itu terdiri dari 2 baris, namun memiliki persajakan a-b-a-b juga, misalnya :

Ikan sepat, ikan gabus

Makin cepat, makin bagus

Tampak memang perbedaannya, meski memiliki persajakan yang sama. Namun itu bukan lah pantun yang kita kenali sejak dulu. Pantun, memang merupakan suatu kebiasaan orang Melayu untuk mengucapkan sesuatu dengan tujuan agar bersopan santun. Itulah sebabnya, pantun membuat orang menjadi lebih sopan dan santun. Dengan berpantun karakter pribadi tampak jelas, bahwa orang itu memiliki kepribadian yang berbudi luhur. Itulah sebabnya, budaya berpantun harus dikembangkan sejak dini. Semenjak menjadi Negeri Pantun, Kota Tanjungpinang mulai giat dalam melestarikan budaya bangsa yang sejatinya kita kembangkan dan praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun memiliki banyak halangan dan tantangan, banyak even-even besar yang mengadakan peraduan pantun, apakah itu antar pelajar SD, SMP, SMA bahkan Mahasiswa, kader PKK, instansi bahkan yang lebih luas lagi. Selain peraduan, dalam setiap kesempatan, untuk memulai, ditengah atau diakhir pidato setiap kata sambutan atau pidato baik itu pejabat daerah, kepala dinas instansi, kepala sekolah, guru, siswa dan sebagainya selalu diselipkan. Itu adalah salah satu usaha melestarikan budaya berpantun. Rasanya kalau tidak diselipkan pantun, seperti hambar dan ada saja yang kurang. Walikota Tanjungpinang, Hj. Suryatati A Manan, sangat menganjurkan agar dalam setiap kegiatan untuk menyelipkan pantun dalam pidato atau sambutannya. Karena menurut beliau, pantun adalah ciri khas Tanjungpinang pada khususnya dan Melayu umumnya.

Ingatkah dengan pantun ini:

Cik Minah sakit kakinya

Karena terjatuh dari tangga

Buanglah sampah pada tempatnya

Agar kebersihan tetap terjaga

Itu adalah pantun yang diletakkan ditong-tong sampah milik Pemko Tanjungpinang. Namun sekarang pantun itu seolah terbiar dan bahkan banyak yang telah terlepas dari tempatnya serta hilang. Menurut saya, itu adalah suatu hal yang sudah bagus dan perlu diperbanyak lagi. Memang itu adalah suatu tantangan, sebab banyak tangan-tangan usil yang tak bertanggung jawab, tak suka dengan pantun Cik Minah itu terpampang ditepi-tepi jalan Kota Tanjungpinang. Kini tak banyak pula hanya tinggal tiang besi penyanggahnya atau tinggal keterangan informasi tentang sampah organik dan anorganik, luar biasa....

Kembali ke Pantun.... seorang Datin dari Malaysia, menghimpun pantunnya dalam sebuah buku pantun yakni Himpunan Syahdu Pantun Melayu Indah Dalam Kiasan, tulisan Datin Asima Abdul Latiff, menuliskan berbagai jenis pantun. Inilah petikan pantun 6 kerat yang menggugah hati, yakni :

Kalau berbuah dusun dibukit

Luruh dicari bersama-sama

Longgok ditepi pohon kuini

Dimajlis nikah pantun terselit

Di dewan negeri pantun bergema

Kita lestari warisan ini

Memang, pantun yang luar biasa. Mengarang pantun dengan sempurna. Dari segi bahasa yang digunakan, merupakan bahasa Melayu asli dan sepertinya tak pernah terfikirkan oleh kita untuk menuliskan pantun dengan kata-kata tersebut.

Jadikanlah pantun sebagai ragam tuturan lisan sehari-hari. Pantun juga sebagai latihan untuk berpikir kritis untuk menyusun kata-kata yang bersajak. Selain itu juga menjadikan kita menjadi lebih soPAN sanTUN.... mari berpantun......!!!!

Pergi kepekan mencari kayu

Indah cuaca ketika pagi

Kita masyhurkan pantun Melayu

Kalau tak kita siapa lagi